DUAR.... ADA SUARA LEDAKAN SAAT MAKAM SOEHARTO DIGALI


Minggu Wage, 27 Januari 2008. Jarum jam menunjuk ke angka 15.30. Azan Asar terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Suasana Astana Giribangun redup kala itu, Matahari entah ke mana. Tak ada awan, juga tiada tanda gerimis bakal jatuh.
Sejumlah orang berkumpul, mengelilingi sebidang petak tanah makam yang siap digali. Mereka melakukan upacara Bedah Bumi, tujuannya agar penggalian berjalan lancar dan selamat. Yang memimpin Begug Purnomosidi.

Lalu, linggis dihujamkan ke  tanah. Tak ada apapun yang terjadi. Begitu pula yang ke dua. Namun, kejadian yang membuat merinding bulu kuduk terjadi saat linggis mengoyak tanah  untuk kali ketiganya.

"Tiba-tiba, duar! Terdengar suara  ledakan yang sangat keras bergema di atas kepala kami," kata  Sukirno, juru kunci makam keluarga Soeharto di Astana  Giribangun, menceritakan pengalamannya menggali makam  Soeharto dalam buku "Pak Harto The Untold Stories".

Para penggali makam dan orang-orang di sekitarnya sontak kaget. Mereka berpandangan. Bingung. Mencoba mereka-reka dari mana asal suara menggelegar itu. "Bukan bunyi petir, lebih  mirip suara bom besar meledak di atas cungkup Astana Giribangun," kata Sukirno.

Namun, anehnya, tak ada yang porak poranda, tak ada yang benda yang  bergeser karena suara ledakan itu. Terbesit di pikiran, mungkin itu suara gaib. Semua yang ada di tempat itu terdiam, terpaku. Lalu, suara Begug memecah keheningan. "Bumi  mengisyaratkan penerimaan terhadap jenazah beliau," tutur  Sukirno, menirukan kalimat Bupati Wonogiri itu.

Isyarat kah itu? Terngiang di benak Sukirno, beberapa bulan sebelum kematian Soeharto, terjadi longsor mendadak di bawah Perbukitan Bangun. Apakah itu juga pertanda?

Selain pengalaman menggali makam Soeharto, pria kelahiran Karanganyar tahun 1953 itu juga masih ingat ketegangan yang terjadi di Astanagiribangun, tahun 1998, saat kekuasaan Soeharto berakhir. Ada kabar, makam keluarga Soeharto itu bakal diserang.

"Bersama warga saya memasang drum-drum di tengah jalan. Di depan pertigaan di depan SD Ibu Tien yang terletak di tanjakan menjelang Astana. Kami memalang puluhan batang bambu ori berduri. Siapa yang melintas dengan berjalan kaki sekalipun, tak bakal gampang menembusnya," cerita dia.

Malam-malam pun terasa panjang. Orang-orang berjaga di sekitar makam. Dari HT terdengar sandi, misalnya 1.000 "kuda lumping" yang artinya ada seribu pengedara sepeda motor mengarah ke Astana. Atau lima ratus "gerobak". Gerobak adalah sandi untuk mobil. "Anehnya tak pernah sekalipun merena yang kabarnya hendak melempari Astana  benar-benar tiba," kata Sukirno.

Sukirno adalah satu dari 113 orang yang menceritakan kisahnya di "Pak Harto The Untold Stories" -- buku yang diluncurkan tepat di peringatan kelahiran Soeharto ke-90.

Soeharto dan kepemimpinannya selama 32 tahun penuh dengan polemik. Juga kontradiksi. Ia dirindukan sekaligus dibenci. Dipahlawankan tapi juga dicaci maki.

Begitu banyak kontroversi yang merubungnya. Dari pengambialihan kekuasan tahun 65, kontroversi soal keterlibataannya dalam G30S PKI. Bahkan jargon KKN (Kolusi Korupsi dan Nepotisme) selalu dilekatkan untuk masa pemerintahannya, di mana anak, kerabat, dan para kroninya mencecap sedemikian banyak keuntungan.

Meski banyak tudingan mengarah padanya, Soeharto tak pernah tersentuh hukum. Ia tak pernah diadili. Kejaksaan Agung mempetieskan perkaranya, hingga penguasa Orde Baru itu meninggal.

Wacana mempahlawankan Soeharto yang mengemuka akhir-akhir ini terus menuai pro dan kontra. Ais Ananta Said adalah anak sulung Ali Said, SH, Jaksa Agung di masa Soeharto berkuasa mendukung penuh Soeharto menjadi pahlawan. Jasa mantan presiden itu, katanya, terlalu banyak untuk diabaikan dari  gelar pahlawan.

Sejumlah anak tokoh Partai Komunis Indonesia dan korban pelanggaran HAM menolak keras.  "Dijatuhkan rakyat, kok jadi pahlawan," tanya Ilham Aidit, anak Dipa Nusantara Aidit.